Sekilas Tentang Sejarah Bangsa Indonesia
TANPA KEPOLISIAN TIADA HARI PAHLAWAN
Peran Polisi tidak pernah diungkit-ungkit dalam
peristiwa Hari Pahlawan. Padahal Peran Polisi sangat utama karena tanpa
Polisi tidak ada yang namanya Hari Pahlawan yang sekarang setiap tahun
kita peringati. Masyarakat banyak yang tidak tahu tentang sejarah Polisi
bahkan di kalangan Polisi sendiri pun kurang akan kesadaran sejarahnya
sendiri. Padahal Bung Karno mengatakan, “Bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai jasa-jasa pahlawannya”.
“Tanpa peran M. Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa tidak akan ada peristiwa 10 November.”
Demikian pernyataan Jenderal (TNI) Moehammad Wahyu
Soedarto, seorang tokoh yang terlibat dalam peristiwa heroik 10 November
1945. 10 November 1945 diabadikan dalam sejarah bangsa dan diperingati
sebagai Hari Pahlawan. Peristiwa ini terjadi di Surabaya dan di kota
Pahlawan ini Polisi pernah melaksanakan “Proklamasi Polisi” Dalam ejaan
lama yang berbunyi :
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan
mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan
Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”.
Soerabaja, 21 Agoestoes 1945
Atas Nama Seloeroeh Warga Polisi
Moehammad Jasin – Inspektoer Polisi Kelas I.
Proklamasi Polisi itu merupakan suatu tekad anggota Polisi
untuk berjuang melawan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap,
walaupun sudah menyerah. Proklamasi itu juga bertujuan untuk meyakinkan
rakyat bahwa Polisi adalah aparat negara yang setia kepada Republik
Indonesia yang berjuang bersama rakyat dan bukanlah alat penjajah.
Ketika terjadi insiden bendera, 19 september 1945, Polisi Pimpinan
Moehammad Jasin bergerak cepat mereka menyatu dengan rakyat.
Jenderal TNI Muhammad Wahyu Sudarto – Pelaku 10 November 1945, menyatakan :
“Saya hanyalah bagian dari sejarah perjuangan tanah air.
Itu pun Cuma di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Sebetulnya pada
“Peristiwa Surabaya” ada tokoh yang lebih hebat tetapi di mana kini
tidak banyak yang kenal. Namanya Moehammad Jasin, orang Sulawesi
Selatan. Jika beliau tidak ada, Surabaya tidak mungkin seperti sekarang.
Beliau adalah Komandan Pasukan Polisi Istimewa. Kalau tugas Bung Tomo
adalah “memanas-manasi rakyat”, Pak Jasin ini memimpin pasukan tempur.
Kesatuannya boleh dibilang kecil, cuma beberapa ratus orang saja. Itu
sebabnya mereka bergabung dengan rakyat. Kalau rakyat sedang bergerak,
di tengah-tengah selalu ada truk atau panser milik Pasukan Polisi
Istimewa lengkap dengan senjata mesin.
Melihat Rakyat bak gelombang yang tak henti-henti itu,
Jepang yang waktu itu sudah kalah dari Pasukan Sekutu menyerah kepada RI
dan intinya adalah Pak Jasin.
Demikian pula kala Inggris (Sekutu) mendarat di Surabaya. Bila tidak ada Pak Jasin, arek-arek Suroboyo tidak bisa segalak itu. Pasukan Inggris datang pertama kali dengan satu brigade pada 28 Oktober 1945. Namun, setelah mereka terdesak, secara bertahap mendarat lagi empat brigade”
(JENDERAL TNI MUHAMAD WAHYU SUDARTO – PELAKU 10 NOVEMBER 1945)
Polisi Istimewa (PI) yang sekarang bernama Brigade Mobil
(Brimob) adalah jelmaan dari CSP (Central Special Police). Apalagi,
pada Agustus 1945 itu, hanya Polisi yang masih memegang senjata. Karena,
setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, penguasa Jepang di
Indonesia membubarkan tentara PETA dan Heiho, sedangkan senjata mereka
dilucuti. Soetamo (Bung Tomo), pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat
Indonesia (BPRI) yang juga salah satu pejuang terkemuka dalam peristiwa
10 November 1945 di Surabaya, menyatakan :
“PETA diharapkan dapat mendukung perjuangan di Surabaya
tahun 1945 , tetapi PETA membiarkan senjatanya dilucuti oleh Jepang,
untung ada Pemuda M. Jasin dengan pasukan-pasukan Polisi Istimewanya
yang berbobot tempur mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya.”-
Soetomo (Bung Tomo)
Pasukan Polisi Istimewapun pada saat itu diperintahkan oleh
Jepang untuk menyerahkan senjatanya, karena Jepang ditugaskan oleh
sekutu untuk menjaga dan memelihara keamanan di Indonesia agar sekutu
dengan aman dapat menginjakkan kakinya di bumi Indonesia. Namun secara
tegas Polisi menolak perintah tersebut sehinga pada masa itu hanya
Polisi yang memiliki persenjataan sedangkan kesatuan lain tidak ada.
Hal ini juga ditegaskan oleh Jenderal TNI AD SUDARTO ex. TRIP dan pelaku 10 Nop 1945 sbb :
“Omong kosong kalau ada yang mengaku di bulan Agustus 1945
memiliki kesatuan bersenjata. Yang ada pada waktu itu hanya
pasukan-pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. JASIN, bahkan ia menyatakan
bahwa tanpa peran pasukan-pasukan Polisi Istimewa dibawah pimpinan M.
JASIN tidak akan ada peristiwa 10 Nopember 1945.”
- Jenderal TNI AD SUDARTO ex. TRIP dan pelaku 10 Nop 1945.
Pernyataan itu menunjukkan bahwa jika pertempuran itu
berlangsung tanpa dukungan dan kepeloporan Pasukan Polisi Istimewa,
niscaya patriotisme perjuangan rakyat di Surabaya tidak akan seheroik
apa yang tercatat dalam sejarah. Hal itu juga dikuatkan dalam pidato
peresmian Monumen Perjuangan Polisi Republik Indonesia di Surabaya yang
disampaikan oleh Pangab RI, Jenderal (TNI) Tri Surtrisno pada 2 Oktober
1988 : “Kekuatan Pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. Jasin harus dikaji
oleh seluruh bangsa Indonesia.”
Lebih lanjut Jendral (TNI) Tri Sutrisno mengatakan,
“Tindakan Inspektur I Moehammad Jasin untuk mempersenjatai Rakyat
Pejuang telah memberikan andil yang cukup besar dalam gerak maju para
pejuang kemerdekaan di Surabaya, yang kemudian mencapai puncaknya dalam
pertempuran heroik di Surabaya tanggal 10 Nopember 1945”.
Persenjataan yang dibagikan oleh Polisi ini didapat dari
gudang-gudang senjata tentara Jepang yang diserbu dan direbut secara
paksa maupun dengan perjanjian penyerahan senjata dengan jaminan
keselamatan tentara Jepang karena mereka sudah amat terdesak hingga
menyerah. Dalam perjanjian penyerahan senjata ini, M. Jasin hadir
sebagai wakil dari pihak Indonesia dan menjamin keselamatan jiwa tentara
Jepang yang menyerah.
Seperti yang tercatat dalam buku Soetjipto Danoekoesoemo,
"Hari-Hari Bahagia Bersama Rakyat". Tiga peleton tentara Jepang
menyerahkan senjata kepada Polisi Istimewa Seksi I dengan syarat
keselamatan mereka dijamin, pada 1 Oktober 1945.
Pada 2 Oktober 1945, di Gedung General Electronics di
Kaliasin, Jepang menyerahkan senjata setelah terjadi pertempuran sengit
dengan Tim Polisi Istimewa di bawah pimpnan Soetjipto Danoekoesoemo.
Dalam pertempuran ini tentara Jepang mengeluarkan senjata-senjata
mitraliur.
Pada Hari yang sama, M. Jasin yang bersama Soetomo (Bung
Tomo) yang mewakili pihak Indonesia berhasil menandatangani perjanjian
penyerahan senjata untuk membuka gudang Arsenal tentara Jepang yang
terbesar se-Asia Tenggara di Don Bosco-Sawahan, Surabaya. Pelucutan ini
diawali dengan perlawanan sengit tentara Jepang. Setelah terjadi
tembak-menembak sengit dan menelan korban jiwa barulah Jepang
menyerahkan senjata.
Pada akhirnya tentara Jepang menyerahkan seluruh
persenjataan, termasuk tank dan panser kepada Polisi Istimewa. Polisi
Istimewa kemudian membagi-bagikan senjata tersebut kepada rakyat dan
pemuda dalam organisasi. perjuangan.
Senjata rampasan yang dibagikan tersebut menjadi modal awal
terbentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah menjadi
TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Segera setelah itu, Surabaya dibanjiri senjata api dari
berbagai jenis yang digunakan untuk menghadapi pasukan Inggris dan
Belanda pada peristiwa Hari Pahlawan.
Karena terlalu banyaknya senjata yang beredar di Surabaya,
maka berbagai senjata tersebut juga didistribusikan keseluruh pelosok
pulau Jawa untuk mendukung perjuangan di wilayah masing-masing.
Senjata-senjata tersebut bahkan juga sampai ke Bandung dimana perjuangan
di sana dikenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api.
Dalam pertempuran-pertempuran melawan tentara Jepang, Abdul Radjab ex TRIP, pelaku 10 Nopember 1945, menyatakan :
“Pasukan-pasukan Polisi Istimewa bertempur melawan Tentara
Jepang dengan gagah berani” - Abdul Radjab ex TRIP, pelaku 10 Nopember
1945
Keterlibatan M. Jasin sebagai pasukan Polisi Istimewa dalam
peristiwa heroik itu jelas tidak diingkari oleh semua tokoh pejuang
yang terlibat. Bahkan seorang Jenderal TNI AD, Abdul Kadir Besar SH,
juga menyatakan : “Saya berani mempertanggungjawabkan pemberian
kedudukan bagi Moehammad Jasin sebagai Singa Pejuang Republik Indonesia
berdasarkan jasa-jasanya.”
Penyataan senada diberikan juga oleh seorang tokoh penting
peristiwa 10 November 1945, DR. H. Roeslan Abdulgani, yaitu : “M. Jasin
dan Polisi Istimewa yang dipimpinnya adalah modal pertama perjuangan di
Surabaya.”
Demikian Pula pernyataan Jenderal (TNI) Moehammad Wahyu
Soedarto, seorang tokoh yang terlibat dalam persitiwa heroik itu, yaitu :
“Tanpa peran M. Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa tidak akan ada
peristiwa 10 November.”
Kehebatan Pasukan Polisi Istimewa dalam arena perjuangan
Surabaya bukan hanya dikagumi kawan tapi juga disegani oleh lawan. Hal
ini terdapat dalam pernyataan resmi Van der Wall, seorang Menteri
Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (Ministerie van Onderwijs en
Wetenschappen) Pemerintah Belanda : “De Poelisi Istimewa, de gewezen
Poelisi Istimewa guderende de Japanse tijd, onder leiding van M. Jasin
is niets anders dan een Militaire strijd kracht.” (Polisi Istimewa,
Mantan Polisi Istimewa diwaktu Jepang, pimpinan M. Jasin tidak lain
adalah satu kekuatan tempur militer).
Sumber :
Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia
Diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2010
Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia
Diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2010
EmoticonEmoticon